Koalisi Rakyat vs Koalisi Oligarki
Oleh Roy Mawandhi
Daritadi.com Metro —Gimmick politik itu keniscayaan. Apalagi di era pemilihan langsung. Termasuk pilihan kata dalam kampanye. Tak ada yang salah dengan itu. Namanya juga usaha menggaet calon pemilih.
Jauh sebelum Pilkada 2024, di banyak tempat di Indonesia, dari tingkat nasional sampai pelosok, istilah koalisi rakyat sudah sering kita dengar. Ini diksi yang menarik. Kata rakyat membuatnya terdengar powerful, terasa egaliter.
Koalisi besar partai politik yang mendukung calon kepala daerah lebih pas mengklaim sebagai koalisi rakyat. Secara konstitusional memang seperti itu. Partai politik merupakan representasi rakyat karena mereka memiliki mandat dari pemilih.
Idealnya, koalisi rakyat lahir dari kebutuhan masyarakat, di mana partai-partai politik membawa suara rakyat dalam bentuk dukungan kepada calon kepala daerah. Jika diibaratkan, koalisi rakyat ini seperti sebuah perahu yang mendayung menuju tujuan yang sama—yakni kesejahteraan rakyat. Setiap partai dalam koalisi bisa membawa kepentingan rakyat yang berbeda, namun saling melengkapi.
Sayangnya, koalisi rakyat sering kali hanya menjadi gimmick politik. Partai politik mungkin saja lebih mementingkan posisi atau jabatan strategis di pemerintahan daripada memperjuangkan kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. Dalam situasi ini, koalisi rakyat hanya menjadi simbol tanpa substansi.
Di sisi lain, ada fenomena yang sering disebut sebagai koalisi oligarki. Secara harfiah, oligarki merujuk pada kelompok kecil yang memegang kekuasaan, biasanya terdiri dari orang-orang kaya atau berpengaruh.
Dalam konteks pilkada, koalisi oligarki mengacu pada segelintir elite ekonomi yang memegang kendali atas calon kepala daerah. Mereka pakai kekuatan finansial untuk mendukung kandidat tertentu, dengan harapan mendapat kompensasi di kemudian hari, baik dalam bentuk proyek, kebijakan, maupun pengaruh politik lainnya.
Filosofinya sederhana: tidak ada makan siang gratis. Dukungan ini akan selalu diikuti oleh tuntutan balas jasa.
Koalisi oligarki, di sisi lain, tentu memiliki kekuatan finansial yang luar biasa. Dengan modal besar, mereka mampu mendukung kampanye calon kepala daerah, mulai dari iklan politik, hingga penggalangan suara lewat berbagai cara. Dampak jangka pendeknya, koalisi oligarki mampu membuat pilkada menjadi lebih kompetitif karena adanya dukungan finansial yang kuat.
Namun, dalam jangka panjang, ada konsekuensi yang serius. Transaksi politik yang terjadi antara oligarki dan calon kepala daerah akan menciptakan pola pemerintahan yang berbasis kepentingan pribadi atau golongan, bukan kepentingan publik. Oligarki yang mendukung tentu akan menuntut balas jasa berupa akses ke proyek-proyek pembangunan atau kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Hal ini bakal merugikan masyarakat luas karena kebijakan yang dihasilkan lebih berorientasi pada keuntungan oligarki ketimbang kesejahteraan rakyat.
Prinsip dasar dalam politik oligarki adalah bahwa setiap dukungan pasti membutuhkan kompensasi. Tidak ada yang namanya dukungan tanpa pamrih. Ini berarti bahwa setelah seorang calon kepala daerah menang, oligarki akan meminta upeti. Dampaknya, masyarakat mungkin tidak mendapatkan pemimpin yang benar-benar bekerja untuk mereka, melainkan pemimpin yang bekerja untuk segelintir elite. Dalam jangka panjang, ini akan memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Penting memahami sosok calon kepala daerah, lebih penting lagi mengenali orang-orang di sekelilingnya. Siapa saja yang berdiri di gerbong mereka. Petualang politik kah? Barisan sakit hati? Kumpulan pengusaha dengan segudang kepentingannya? Atau sanak keluarga?
Pilkada seharusnya menjadi panggung bagi kepentingan rakyat, bukan hanya arena transaksi politik yang menguntungkan segelintir orang. (*)